Indonesia Corruption Watch (ICW) menyoroti lambatnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam mengumumkan penerbitan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) kasus dugaan korupsi izin tambang di Konawe Utara, Sulawesi Tenggara, yang merugikan negara Rp 2,7 triliun.
ICW Pertanyakan Transparansi KPK
Pihak ICW mempertanyakan alasan KPK membutuhkan waktu satu tahun untuk menyampaikan informasi penghentian perkara ini kepada publik. “ICW mempertanyakan mengapa KPK butuh waktu satu tahun untuk menyampaikan informasi tersebut ke publik? Mengapa informasi tersebut tidak segera disampaikan kepada publik?” ujar peneliti ICW Wana Alamsyah dalam keterangan tertulisnya, Senin (29/12/2025).
SP3 dalam kasus ini telah diterbitkan sejak Desember 2024. Menurut ICW, sesuai Pasal 40 ayat 2 UU KPK dan Putusan MK Nomor 70/PUU-XVII/2019, penghentian penyidikan dan penuntutan wajib dilaporkan ke Dewas KPK paling lambat 14 hari setelah SP3 dikeluarkan.
Lebih lanjut, Wana mengungkapkan bahwa berdasarkan penelusuran ICW, nama mantan Bupati Konawe Utara, Aswad Sulaiman (AS), yang tersangkut kasus ini, tidak tercantum dalam laporan tahunan KPK maupun Dewan Pengawas KPK. “Berdasarkan penelusuran ICW terhadap laporan tahunan KPK dan Dewan Pengawas KPK, nama AS tidak masuk di dalam laporan tersebut,” kata Wana. “Publik patut mempertanyakan alasan mengapa KPK tidak berlaku transparan?” sambungnya.
Mekanisme SP3 Dinilai Rawan Kepentingan
ICW menilai mekanisme KPK yang memungkinkan penerbitan SP3 berpotensi tidak sejalan dengan semangat pemberantasan korupsi. Kebijakan ini dinilai rawan disalahgunakan untuk kepentingan tertentu.
“Penghentian perkara dapat berpotensi bukan didasarkan atas pandangan objektif, melainkan dari penilaian subjektif yang sulit untuk ditagih akuntabilitasnya oleh publik,” jelas Wana.
KPK: SP3 Dikeluarkan Karena Kendala Bukti dan Daluwarsa
Juru Bicara KPK, Budi, membenarkan penerbitan SP3 kasus izin tambang di Konawe Utara sejak 2024. Ia menyatakan bahwa penerbitan SP3 tersebut sudah tepat karena adanya kendala dalam proses penyidikan.
“Penerbitan SP3 oleh KPK sudah tepat karena tidak terpenuhinya kecukupan alat bukti dalam proses penyidikan yang dilakukan, Pasal 2, Pasal 3-nya (UU Tipikor), yaitu terkendala dalam penghitungan kerugian keuangan negara,” kata Budi kepada wartawan, Minggu (28/12).
Selain itu, faktor waktu juga menjadi pertimbangan. “Kemudian, dengan tempus perkara yang sudah 2009, ini juga berkaitan dengan daluwarsa perkaranya, yakni terkait pasal suapnya,” imbuhnya.
Budi menambahkan, penerbitan SP3 ini bertujuan untuk memberikan kejelasan dan kepastian hukum bagi pihak-pihak terkait, karena proses hukum dinilai telah berjalan sesuai koridor yang semestinya.
“Artinya, pemberian SP3 ini untuk memberikan kejelasan dan kepastian hukum kepada para pihak terkait karena setiap proses hukum harus sesuai dengan norma-norma hukum,” tutur dia.
Kasus Konawe Utara
KPK menetapkan mantan Bupati Konawe Utara, Aswad Sulaiman, sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi terkait izin pertambangan pada tahun 2017. Ia diduga memperkaya diri sendiri dan menyalahgunakan kewenangan, yang mengakibatkan kerugian keuangan negara.
“Menetapkan ASW (Aswad Sulaiman) sebagai tersangka,” ucap Wakil Ketua KPK saat itu, Saut Situmorang, di kantornya, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Selasa (3/10/2017).
Saut menjelaskan bahwa dugaan korupsi tersebut berkaitan dengan izin eksplorasi, izin usaha pertambangan, dan izin operasi produksi di Konawe Utara, yang diduga terjadi pada periode 2007-2009.
“Indikasi kerugian negara yang sekurang-kurangnya Rp 2,7 triliun yang berasal dari penjualan produksi nikel, yang diduga diperoleh dari proses perizinan yang melawan hukum,” kata Saut saat itu.






